Scientism – Married at The First Sight


Keluarga Sakinah

Sudah sangat sering saya mendengar dan membaca isme-isme seperti: kapitalisme, sosialisme-komunisme, sekulerisme, pluralisme, animisme, atheisme, dan isme-isme lainnya. Tetapi tentang scientisme, saya baru mendengarnya di public lecture yang saya ikuti beberapa hari lalu. Kalau istilah science sendiri, tentu saja saya sudah mengenalnya sejak puluhan tahun lalu.

Ternyata science dan scientisme sangat berbeda jauh. Science itu bagus, sedangkan scientisme itu buruk. Lho, kok bisa begitu? Science adalah istilah yang merujuk pada ilmu pengetahuan, semua cabang ilmu pengetahuan bisa digolongkan sebagai science. Sedang scientisme adalah sebuah doktrin ideologi yang mengajarkan bahwa science memiliki jawaban atas semua pertanyaan, atau dengan kata lain segala sesuatu permasalahan bisa diselesaikan melalui “science”. Lalu buruknya dimana? Kalau kesimpulan yang dihasilkan oleh science didasarkan pada penggalian data empiris, sedangkan doktrin scientisme lebih banyak asusmsi/spekulatif.

Pada awalnya saya kurang begitu yakin akan perbedaan kedua istilah itu. Sampai saya teringat pada sebuah acara TV Australia yang cukup popular, Married at The First Sight – menikah pada pandangan pertama.

Acara ini cukup menarik bagi saya, sebuah acara yang mereka namakan eksperimen pernikahan. Acara ini dipandu oleh tiga orang ilmuwan dibidangnya masing-masing, yaitu ahli Clinical Psychologyst and Relationship, ahli Neuropsychotherapist, dan ahli Psychologist and Dating.

Tiga orang ahli ini memilihkan pasangan yang tidak saling mengenal sebelumnya, dengan berlandaskan latar belakang, kecocokan, kecenderungan kesamaan, dan berbagai hal lain, yang diasumsikan akan melanggengkan pernikahan mereka.

Saya yakin, meskipun acara ini dikemas. dalam format “Reality TV Show”, tetapi juga merupakan suatu riset (mereka menyebutnya eksperimen) untuk menjawab dan memecahkan masalah perceraian dalam sebuah pernikahan.

Setelah mencari-cari data tentang hasil eksperimen acara ini lebih detail, saya dapatkan hasil yang sangat menarik. Dari 4 pasangan yang mengikuti eksperimen pada sesi 1 (pertama) di tahun 2015, tiga pasangan bercerai dan satu pasangan masih menjadi suami istri dan mempunyai anak.

Dari 4 pasangan yang mengikuti eksperimen pada sesi 2 (kedua) di tahun 2016, semua pasangan sudah bercerai.

Dari 5 pasangan yang mengikuti eksperimen pada sesi 3 (ketiga) di tahun 2016, semua pasangan bercerai. Artinya, dari 3 sesi eksperimen, hanya 7.69 % (1 dari 13 pasangan peserta) yang masih mempertahankan pernikahan.

Sedangkan pada sesi 4 (keempat) di tahun 2017, yang baru selesai beberapa minggu lalu, dari 11 pasangan yang mengikuti eksperimen, 8 pasangan bercerai, dan 3 pasangan masih berkomitmen mempertahankan pernikahan, meskipun tidak ada jaminan beberapa tahun kedepan mereka tidak akan bercerai.

Artinya, asumsi bahwa “science” akan 
menjawab masalah perceraian dalam 
pernikahan dapat dikatakan 
gagal total.

Saya jadi teringat kesimpulan sederhana tentang fakta pernikahan para leluhur kita di Indonesia. Bahwa perjodohan oleh orang tua lebih melanggengkan pernikahan dibandingkan memilih pasangan sendiri. Buktinya, perkawinan orang tua di jaman Siti Nurbaya lebih langgeng, dibandingkan perkawinan pasangan suami-istri jaman sekarang. Tentu saja kesimpulan sederhana ini perlu pembuktian empiris tingkat kebenarannya.

Sesungguhnya, Islam mempunyai pandangan spesifik dan detail dalam masalah pernikahan. Dalam Islam, pernikahan merupakan suatu aqad (perjanjian) yang diberkahi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Dengan pernikahan, dihalalkan bagi keduanya hal-hal yang sebelumnya dilarang. Dengan pernikahan, manusia dapat saling mengisi, menjalin hubungan kekeluargaan, dan meneruskan keturunan. Islam mengatur masalah pernikahan dengan sangat sempurna, mulai dari syarat-syarat sahnya sebuah pernikahan, sampai masalah perceraian. Islam memandang pernikahan adalah bagian dari keimanan.

Kenyataan ini semakin mengokohkan keyakinan saya, bahwa Islamlah satu-satunya ideologi yang bisa menjawab dan menyelesaikan semua bentuk pertanyaan dan masalah kehidupan manusia di muka bumi ini.

Dan yang terpenting dari semuanya adalah, menjawab dan menyelesaikan masalah pertanyaan manusia di kehidupan manusia setelah mati nanti. Dimana scientisme atau isme-isme lain sangat mustahil untuk menjawabnya.

Sydney, 31 Maret 2017

Bay Malik

Ustadz Bay A. Malik
Alumni Fiad yang tinggal di Sydney Australia

Tags:
author

Author: 

Ikatan Alumni Fiad ( IKALFIAD ) Surabaya, adalah wadah bertemu dan berinteraksinya para alumnus yang sudah menyelesaikan pendidikan di Fiad, maupun yang belum lulus.

Tinggalkan Balasan